- · Berikut adalah beberapa pengertian yang terdapat dalam UU No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi:
- Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik Iainnya;
- Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
- Perangkat telekomunikasi adalah sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi;
- Sarana dan prasarana tetekomunikasi adalah segala sesuatu yang memungkinkan dan mendukung berfungsinya telekomunikasi;
- Pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang menggunakan dan memancarkan gelombang radio;
- Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
- Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunikasi;
- Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, badan usaha milik daerah, badan usaha milik negara, badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara;
- Pelanggan adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi berdasarkan kontrak;
- Pemakai adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang tidak berdasarkan kontrak;
- Pengguna adalah pelanggan dan pemakai;
- Penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi.
- Penyelenggaraan telekomunikasi khusus adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang sifat, peruntukan, dan pengoperasiannya khusus;
- Interkoneksi adalah keterhubungan antarjaringan telekomunikasi dan penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda; 15. Menteri adalah Menteri yang ruang Iingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi.
- · Undang undang ITE No. 11 Tahun 2008
1. pengakuan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 & Pasal 6 UU ITE).
2. tanda tangan elektronik (Pasal 11 & Pasal 12 UU ITE).
3. penyelenggaraan sertifikasi elektronik (certification authority, Pasal 13 & Pasal 14 UU ITE).
4. penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 15 & Pasal 16 UU ITE).
Beberapa materi perbuatan yang dilarang (cybercrimes) yang diatur dalam UU ITE, antara lain:
1. 5konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain: kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE)
2. akses ilegal (Pasal 30).
3. intersepsi ilegal (Pasal 31)
4. gangguan terhadap data (data interference, Pasal 32 UU ITE)
5. gangguan terhadap sistem (system interference, Pasal 33 UU ITE)
6. penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34 UU ITE).
- · UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008
Yang dimaksud dengan:
1. Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
2. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
Undang undang tentang pornografi berasaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap
harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara.
- · Undang Undang hak cipta nomor 19 tahun 2002
a) bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman etnik/suku bangsa dan budaya serta kekayaan di bidang seni dan sastra dengan pengembangan pengembangannya yang memerlukan perlindungan Hak Cipta terhadap kekayaan intelektual yang lahir dari keanekaragaman tersebut;
b) bahwa Indonesia telah menjadi anggota berbagai konvensi/perjanjian internasional di bidang hak kekayaan intelektual pada umumnya dan Hak Cipta pada khususnya yang memerlukan pengejawantahan lebih lanjut dalam sistem hukum nasionalnya;
c) bahwa perkembangan di bidang perdagangan, industri, dan investasi telah sedemikian pesat sehingga memerlukan peningkatan perlindungan bagi Pencipta dan Pemilik Hak Terkait dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat luas;
d) bahwa dengan memperhatikan pengalaman dalam melaksanakan Undang undang Hak Cipta yang ada, dipandang perlu untuk menetapkan Undang undang Hak Cipta yang baru menggantikan Undang undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang undang Nomor 7 Tahun 1987 dan terakhir diubah dengan Undang undang Nomor 12 Tahun 1997;
e) bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, dibutuhkan Undang undang tentang Hak Cipta;
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 28 C ayat (1), dan Pasal 33 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564);
- · Undang Undang perlindungan konsumen no 8 tahun 1999
a) bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b) bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung, tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan / atau jasa yang, memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan / atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen;
c) bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globilisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar;
d) bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggungjawab;
e) bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai;
f) bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas diperlukan perangkat peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat;
g) bahwa untuk itu perlu dibentuk Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen;
h) Pasal 5 Ayat 1, Pasal 21 Ayat 1, Pasal 27, dan Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945;
- · Ruu tindak pidana ti/tipiti
Pada dasarnya
RUU TIPITI memiliki tujuan yang baik yaitu mendukung ketertiban pemanfaatan Teknologi Informasi (BAB II Pasal 3). Maka dari itu disusunlah beberapa peraturan yang mengatur tentang ketertiban pemanfaatan TI seperti sanksi mengenai pencurian melalui TI (BAB VI Pasal 10), sanksi akses tanpa hak (BAB VI Pasal 11), sanksi pemalsuan identitas (BAB VI Pasal 13), sanksi mengenai Pornografi Anak-anak (BAB VI Pasal 17), sanksi mengenai bantuan kejahatan (BAB VI Pasal 18), sanksi mengenai perusakan situs internet (BAB VII Pasal 22), sanksi mengenai perusakan Database atau enkripsi (BAB VII Pasal 25), sanksi mengenai penyalahgunaan surat elektronik (BAB VII Pasal 27 ayat 1 dan 2), sanksi mengenai pelanggaran hak cipta dan hak privasi (BAB VII Pasal 28 dan 29), dan masih banyak lagi.
- · RUU Konvergensi Telematika
Pemerintah Mengaburkan Informasi Soal RUU Konvergensi Telematika Pemerintah saat ini sedang membahas Rancangan Undang Undang (RUU) Konvergensi Telematika. Mulai akhir tahun 2011 lalu, publik mulai mencermati pembahasan RUU ini. Karena RUU ini diperkirakan akan berdampak luas bagi kehidupan warga terkait persoalan telekomunikasi dan media. Berbagai organisasi masyarakat sipil menilai isi dari RUU Konvergensi Telematika ini lebih menguntungkan korporasi atau bisnis daripada masyarakat. Terkait berbagai penilaian negatif itulah, pemerintah seperti sengaja memberikan informasi yang simpang siur atas status RUU ini. Bahkan dalam beberapa hal terkesan menutupi informasi terkait pembahasan RUU Konvergensi Telematika ini. Analis Teknologi Penyiaran dan Peraturan Kementrian Komunikasi dan Indonesia Republik Indonesia Feriandi Mirza misalnya, menulis di akun twitter-nya, @efmirza bahwa memang pada awalnya yang diajukan adalah RUU Konvergensi, tetapi yang disetujui adalah perubahan Undang-Undang Telekomunikasi No 36/1999. Padahal sejak awal juga disebutkan bahwa RUU Konvergensi Telematika jika disahkan akan menggantikan UU No.36/1999 (http://combine.or.id/2011/12/ruu-konvergensi-untungkan-pebisnis-media/). Namun, informasi resmi dari Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemen Kominfo), seperti tertuang dalam suratnya No, 79/DJPPI/Kominfo/02/2012, menyebutkan bahwa RUU yang akan menggantikan UU No.36/1999 adalah RUU Multimedia. Beda pula dengan informasi resmi dari Pejabat Pengelolaan Informasi-Kemen Kominfo, dalam suratnya Nomor 11/PPID/KOMINFO/2/2012, menyebutkan bahwa sampai dengan pembahasan terakhir terkait RUU Konvergensi Telematika, tidak ada perubahan nama. Artinya tetap menggunakan nama RUU Konvergensi Telematika. Menurut surat itu pula, RUU Konvergensi Telematika masih dalam proses pembahasan di Kementerian Hukum dan HAM. Untuk meluruskan ketidakjelasan pembahasan RUU Konvergensi Telematika itulah pada 5 Maret 2012, Yayasan SatuDunia berinisiatif mengirim surat ke Kementerian Hukum dan HAM, untuk meminta informasi terkait status dan draft terakhir pembahasan RUU Konvergensi Telematika itu. Namun, hingga press release ini ditulis (3 April 2012), tidak ada tanggapan (pemberitahuan tertulis) dari pihak kementerian Hukum dan HAM. Padahal menurut UU No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, paling lambat 10 hari sejak permohonan diterima, Badan Publik bersangkutan, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM, wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis. SatuDunia menilai kesimpangsiuran informasi dari pemerintah terkait pembahasan RUU Konvergensi Telematika ini bukanlah sebuah hal yang kebetulan. Mengingat, RUU Konvergensi Telematika ini menyangkut kepentingan bisnis besar di bidang telematika. Bahkan, dalam penjelasan draft RUU ini juga disebutkan adanya tekanan dari forum regional dan internasional untuk merubah paradigma telematika dari sesuatu yang vital yang menguasai hajat hidup orang banyak menjadi sekedar komoditas.